Presiden RI Jokowi Terbitkan larangan Ekspor CPO dan Minyak Goreng

oleh -633 Dilihat
0 0
Read Time:3 Minute, 51 Second

JAKARTA // mediatargetkasus.com

Presiden Jokowi menerbitkan larangan ekspor CPO dan minyak goreng. Kebijakan ini menuai pro dan kontra dari dalam maupun luar negeri.
Jakarta, Presiden Joko WIdodo (Jokowi) menerbitkan larangan ekspor CPO dan minyak goreng. Hal itu ditujukan untuk menurunkan harga minyak goreng dan mengerek stoknya yang sempat langka.
Kebijakan itu dirilis pada Kamis (28/4) lalu, setelah deretan menteri pembantunya dinilai gagal menurunkan harga minyak goreng yang melonjak sejak akhir tahun lalu.

Sebagai negara penghasil CPO nomor satu dunia, kebijakan sapu jagat tersebut menuai kritik, protes, hingga apresiasi, baik itu dari luar maupun dalam negeri. Berikut daftar mereka yang pro dan protes terhadap kebijakan Jokowi tersebut.

1. Anggota DPR
Anggota Komisi VI DPR Fraksi PPP Achmad Baidowi mengaku sepakat dengan kebijakan Jokowi karena menilai keputusan dibuat secara matang dan tak terburu-buru.

“Pertimbangan pemerintah kami kira cukup matang dan tidak tergesa-gesa karena risiko inflasi akibat pangan cukup tinggi, dan bisa berdampak pada naiknya jumlah penduduk miskin. Selama pandemi jumlah penduduk miskin telah meningkat menjadi 26,5 juta orang (September 2021),” kata Baidowi dalam keterangan resmi, Sabtu (23/4).

Sebaliknya, Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Yevri Hanteru Sitorus meminta pemerintah mengevaluasi kebijakan moratorium atau pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng.


Menurutnya, kebijakan tersebut bisa merugikan petani kecil dan mendorong lonjakan harga, termasuk produk turunannya, seperti minyak goreng. Menurut dia, keputusan pemerintah melakukan moratorium ekspor CPO dan minyak goreng tepat apabila dilakukan dalam jangka waktu pendek.

Hal itu bisa dipahami sebagai langkah untuk memastikan melimpahnya pasokan di dalam negeri dan turunnya harga minyak goreng di tingkat domestik. Namun, jika dilakukan dalam jangka panjang kebijakan itu bisa merusak industri CPO secara keseluruhan, termasuk industri minyak goreng dan merugikan petani petani kecil.

“Perlu diingat bahwa sekitar 41 persen pelaku industri sawit adalah rakyat kecil. jadi ini menyangkut jutaan orang dan mereka yang pertama akan menderita karena kebijakan tersebut,” kata Deddy.

2. Buruh Sawit

Koalisi Buruh Sawit (KBS) memprotes kebijakan larangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng. Mereka menggangap larangan tersebut berpotensi merugikan mereka.

Koordinator Koalisi Buruh Sawit Zidane mengatakan potensi kerugian terjadi bila larangan ekspor CPO tersebut memicu penurunan kinerja keuangan perusahaan sawit. Menurutnya, kalau masalah itu terjadi, operasional perusahaan bisa terganggu.

Hal tersebut bisa menjadi alasan bagi perusahaan untuk mengurangi jaminan pemenuhan hak buruh, termasuk dalam kaitannya dengan upah, hari kerja dan perlindungan kesehatan.

“KBS memandang kebijakan larangan ekspor CPO berpotensi memberi dampak buruk bagi buruh perkebunan sawit. Buruh perkebunan sawit berada pada kondisi kerja eksploitatif, upah murah, status hubungan kerja rentan, minim perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Kondisi ini sudah berlangsung bertahun-tahun, tanpa perubahan mendasar,” tutur Zidane.


3. Pengamat dan Ekonomi

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai keputusan melarang ekspor CPO tidak menyelesaikan masalah yang ada.

Menurutnya, larangan ekspor CPO seperti mengulang kesalahan pemerintah yang memberhentikan ekspor komoditas batu bara pada Januari lalu.

“Apakah masalah selesai? Kan tidak, justru diprotes oleh calon pembeli di luar negeri. Cara-cara seperti itu harus dihentikan,” kata Bhima.

Ia menilai kebijakan Jokowi justru akan menguntungkan negara lain yang juga merupakan produsen minyak sawit, seperti Malaysia.

Tak hanya itu, Indonesia juga berpotensi kehilangan devisa ekspor senilai US$3 miliar devisa negara atau setara dengan Rp43 triliun lebih (kurs 14.436 per dolar AS).


“Selama Maret 2022, ekspor CPO nilainya US$3 miliar. Jadi estimasinya Mei, apabila asumsinya pelarangan ekspor berlaku 1 bulan penuh, (Indonesia) kehilangan devisa sebesar US$3 miliar. Setara 12 persen total ekspor non migas,” kata dia.

Senada, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan seharusnya pemerintah cukup membatasi dan bukan melarang. Sebab, selama ini konsumsi CPO dalam negeri hanya sekitar 6 hingga 7 juta ton.

“Konsumsi dalam negeri hanya 6 juta ton-7 juta ton, tapi 30 jutaan ton dilarang ekspor mau dikemanakan? Busuk dong?” jelasnya.

Tauhid menyebut kebijakan tersebut juga akan merugikan petani CPO. Jika tak boleh diekspor, maka mereka akan kehilangan pasar karena mayoritas produksi RI diekspor. “Siapa yang beli? Kita punya jutaan petani yang harus bergantung ke pasar ekspor,” terang dia.


4. GAPKI

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) meminta Jokowi untuk mengevaluasi larangan ekspor CPO.

Terutama, jika kebijakan tersebut terbukti memberikan dampak negatif terhadap pengusaha kelapa sawit.

“Jika kebijakan ini membawa dampak negatif kepada keberlanjutan usaha sektor kelapa sawit, kami akan memohon kepada pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan tersebut,” imbuh Ketua Bidang Komunikasi GAPKI Tofan Mahdi.

GAPKI meminta seluruh pemangku kepentingan di industri sawit untuk ikut memantau dampak dari kebijakan tersebut di lapangan.

“Kami mengajak seluruh pemangku kepentingan dalam mata rantai industri sawit untuk memantau dampak kebijakan tersebut terhadap sektor kelapa sawit,” ungkap Tofan.

Rilis : Sunardi Sinuraya

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.